Ciamis merupakan salah satu
Kota kecil ini, ternyata memiliki satu legenda kehidupan masa lalu yang cukup menarik. Di kawasan Panjalu terdapat sebuah danau buatan yang sangat indah, yaitu ‘Situ Lengkong’. Seiring berkembangnya pembangunan sektor pariwisata dan budaya, Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Barat menetapkan Panjalu sebagai Kota Wisata Budaya Ziarah.
Sebagai tempat pariwisata, ‘Situ Lengkong’ Panjalu memiliki pesona alam yang sangat menarik. Bentuk danaunya melingkar dengan air yang jernih serta di tengah-tengah danau tersebut terdapat daratan atau disebut dengan ‘nusa’. Daratan di sekelilingnya dipenuhi dengan berbagai jenis tumbuhan (kayu) dan hidup beberapa jenis margasatwa. Dijadikan sebagai tempat wisata budaya dan ziarah, karena di sekitar ‘Situ Lengkong’ Panjalu terdapat bangunan kecil tempat menyimpan benda-benda pusaka peninggalan ‘Kerajaan Panjalu’, yang diberi nama ‘Museum Bumi Alit’. Sejak ‘Kerajaan Panjalu’ itulah Agama Islam mulai menyebar luas. Salah satu kebudayaan yang sampai sekarang masih tetap dilakukan secara turun-temurun, yaitu upacara adat sakral ‘Nyangku’. Pelaksanaan upacara adat ‘Nyangku’ dilakukan oleh sesepuh Panjalu, para tokoh, penjaga makam (kuncen), dan unsur pemerintahan, yang dikordinir oleh Yayasan Boros Ngora dan Pemerintahan Desa Panjalu.
Situ Lengkong Panjalu merupakan perpaduan antara objek wisata alat dan objek wisata budaya. Di objek wisata ini kita bisa menyaksikan indahnya danau (situ) yang berhawa sejuk dengan sebuah pulau terdapat di tengahnya yang disebut Nusa Larang. Di nusa ini terdapat Makam Hariang Kencana, putra dari Hariang Borosngora, Raja Panjalu yang membuat Situ Lengkong pada masa beliau menjadi raja kerajaan Panjalu.
Untuk menghormati jasa para leluhur Panjalu, maka sampai saat ini warga keturunan Panjalu biasa melaksanakan semacam upacara adat yang disebut Nyangku. Acara ini dilaksanakan pada tiap-tiap bulan Maulud dengan jalan membersihkan benda-benda pusaka yang disimpan di sebuah tempat khusus (semacam musium) yang disebut Bumi Alit.
Kegiatan wisata yang bisa dilaksanakan di sini antara lain: berperahu mengelilingi nusa, memancing, camping, dan sebagainya.
Objek wisata ini terletak di Desa/Kecamatan Panjalu dengan jarak kurang lebih 41 km dari
Terjadinya Situ Lengkong Panjalu, tidak terlepas dari sejarah Kerajaan Panjalu. Konon sekitar abad VII salah satu leluhur Panjalu bernama ‘Prabu Sanghyang Boros Ngora’ (Haji Dul Iman bin Umar bin Muhamad) berkelana dengan maksud mencari ilmu pengetahuan, sehingga sampailah di sebuah tempat yang di sekitarnya terdiri dari bebatuan dan pasir. Rupanya tanah yang diinjaknya itu adalah tanah suci Mekkah. Di sanalah ia beroleh ilmu sejati (Islam) yaitu ilmu yang membawa pada keselamatan dunia dan akhirat. Prabu Sanghyang Boros Ngora menguasai ilmu tersebut dengan sempurna. Setelah itu, ia pulang dengan membawa oleh-oleh dari seorang sahabat Nabi Muhammad SAW sekaligus sebagai gurunya, yakni Baginda Ali, r.a. Oleh-oleh dari sahabat Nabi tersebut tiada lain adalah pakaian kehajian, dan air zam-zam. Air zam-zam dibawanya dalam sebuah gayung yang permukaannya bolong-bolong, pemberian ayahnya Prabu Sanghyang Cakra Dewa. Dengan izin Yang Maha Kuasa ia dapat membawa air zam-zam itu pulang ke tempat asalnya, Panjalu. Setibanya di Panjalu, air zam-zam itu ditumpahkannya di sebuah tempat yaitu Pasir Jambu, yang hingga kini menjadi sebuah danau yang indah yakni ‘Situ Lengkong’. Di tengah-tengah danau terdapat daratan yang dinamai ‘Nusa Gede’. Sampai saat ini, maka diyakinilah bahwa danau buatan ‘Situ Lengkong’ Panjalu terjadi karena tumpahan air zam-zam yang dibawa oleh leluhur Panjalu pada saat itu, yakni ‘Sanghyang Prabu Boros Ngora’.
Catatan sejarah Yayasan Boros Ngora, mengungkapkan bahwa Kerajaan Panjalu (jaman dahulu) terbentuk dari gabungan 2 kerajaan, yakni kerajaan Gunung Bitung (Soko Galuhnya) dan kerajaan Karantenan Gunung Syawal. Tersebutlah ‘Sanghyang Tunggal Ratu Galuh Nyakra Wati Ing Tanah Jawa’ yang memimpin kerajaan Gunung Bitung, dan mewariskan kepemimpinannya kepada ‘Batara Babar Sajagat’ dan ‘Prabu Sanghyang Cipta Permana Dewa’. Keturunan ‘Prabu Sanghyang Cipta Permana Dewa’, yaitu; 1) Sanghyang Bleg Tambleg Raja Gulingan, 2) Sanghyang Pamunggang Sangrumanghyang, dan 3) Sanghyang Ratu Permana Dewi, ketiganya merupakan anak kembar. Sanghyang Bleg Tambleg Raja Gulingan, menguasai ilmu keduniawian yang akhirnya pergi ke Kuningan, dan Sanghyang Pamunggang Sangrumanghyang, menguasai ilmu kedugalan yang akhirnya pergi ke Talaga, sedangkan Sanghyang Ratu Permana Dewi memiliki sifat yang berbeda dengan kedua kakaknya, ia menguasai ilmu kerahayuan dan kedamaian.
Sanghyang Ratu Permana Dewi, berdiam di Panjalu lalu menikah dengan keturunan kerajaan Karantenan Gunung Syawal yakni ‘Rangga Gumilang’, putra dari Raja Marangga Sakti sebagai buyut dari ‘Prabu Tisna Jati’ yang mewariskannya kepada putranya ‘Batara Layah’, diteruskan oleh ‘Karimun Putih’, dan akhirnya kepada ‘Marangga Sakti’ (ayah Rangga Gumilang).
Ketika memerintah kerajaan Panjalu (Negara Soko Galuh), Sanghyang Ratu Permana Dewi mendapat gelar dari rakyatnya yaitu gelar ‘Soko Galuh Panjalu’. Panjalu berasal dari kata ‘jalu’ yang berarti laki-laki, kemudian ditambah awal kata ‘pan’, sehingga maksudnya berubah menjadi bukan laki-laki (melainkan perempuan). Palsafah hidup yang diajarkan oleh Sanghyang Ratu Permana Dewi adalah ‘Mangan Karna Halal, Pake Karna Suci, Tekad Ucap Lampah Sabenere’, yang artinya makan makanan yang halal, berpakaian yang bersih, itikad ucapan perilaku yang benar. Sampai saat ini palsafah tersebut masih dipegang teguh oleh masyarakat Panjalu.
Hasil pernikahan Sanghyang Ratu Permana Dewi dengan Rangga Gumilang melahirkan seorang putra bernama ‘Prabu Sanghyang Lembu Sampulur’, yang meneruskan memerintah kerajaan Panjalu, dan pada akhirnya diserahkan kepada ‘Prabu Sanghyang Cakra Dewa’. Nama Prabu Sanghyang Cakra Dewa, berarti menolak dewa, karena ia menguasai ilmu yang tinggi sehingga kurang percaya dengan adanya dewa ilmu ‘Sunda Wiwitan’ yang diajarkan oleh Prabu Sanghyang Cakra Dewa. Prabu Sanghyang Cakra Dewa, berputra 6 orang yaitu; 1) Sanghyang Lembu Sampulur, 2) Sanghyang Prabu Boros Ngora, 3) Sanghyang Panji Barani, 4) Ratu Marangprang Kencana Artas Wayang, 5) Ratu Pundut Agung, dan 6) Angga Runtin.
Sanghyang Prabu Boros Ngora (salah seorang putra Sanghyang Prabu Cakra Dewa), dinobatkan menjadi Raja Panjalu, kemudian memindahkan pusat kerajaan Panjalu dari Dayeuh Luhur ke Pasir Jambu, yang saai ini menjadi Nusa Gede di tengah-tengah Situ Lengkong. Dua orang putra dari Prabu Sanghyang Boros Ngora yakni Prabu Haryang Kuning dan Prabu Haryang Kancana, adalah penerus leluhur kerajaan Panjalu berikutnya.
No comments: